Intro
Pertama kali saya mendengarkan alunan suara
Tulus, yang bernama lengkap
Muhammad Tulus, di acara
Wide Shot Metro TV. Untunglah dia tampil di acara itu, bukan acara musik yang penontonnya dibayar dan bahkan kadang di-
bully
oleh pembawa acaranya karena acara semacam itu saya coret dari agenda
saya. Saya langsung jatuh cinta dan segera mencari albumnya. Sayang,
distribusi penjualan yang sekarang jarang dipandang penting bagi
perusahaan rekaman atau distribusi menunda keinginan saya segera
memiliki album itu. Beberapa bulan setelahnya baru saya mendapatkannya.
Tepatnya di bulan Februari tahun ini. Padahal, album ini dirilis akhir
tahun 2011.
Saya termasuk terlambat mengenal
Tulus karena saya juga bukan pendengar radio yang memutar lagu-lagu baru. Yang jelas, suara
Tulus yang “empuk” dan
jazzy
membuat saya harus memasukkan albumnya dalam daftar koleksi saya.
Semakin sering saya memutar lagu-lagunya, semakin saya menikmatinya.
Inilah karya bagus yang merupakan definisi pribadi saya.
Memproduseri sendiri sebuah album merupakan “kenekatan” seorang
musisi baru sementara banyak musisi (artis solo atau band) yang begitu
memuja peran perusahaan rekaman besar (
major label). Tapi,
kenekatan ini adalah sebuah semangat indie yang sekarang sedang
berkembang di dunia industri musik di negeri ini. Peran teknologi
rekaman yang mudah dan murah serta kekuatan internet dan sosial media
bisa juga menjadi alasan mengapa sekarang musisi memilih jalur ini.
Indie adalah sebuah semangat kemerdekaan (
independence) dalam berkarya. Inilah semangat yang diadopsi seorang
Tulus yang begitu tulus membawakan karyanya.
The Albums
Album ini awalnya hanya dirilis di Bandung. Tak ada bayangan bahwa
kemudian banyak permintaan album ini sampai akhirnya beredar di Jakarta
dan sekarang album ini meledak dan dicari pendengar musik. Awalnya,
Tulus
yang seorang arsitek lulusan Unpar ini hanya berpikir berkarya tanpa
membayangkan pada akhirnya bisa digandrungi pendengar karyanya. Ia tak
pernah menjadikan pendengar sebagai targetnya dalam berkarya karena ia
percaya tanpa menentukan target atau tujuan, ia akan memiliki ruang yang
lebih luas dalam berkarya. Bahwasanya sekarang ia menjadi pujaan, itu
terjadi di luar perkiraannya. Dan tentu saja, itu karena karyanya di
album ini memang “membius”.
Lirik-lirik lagu di album ini tak lazim. Sekian lama pendengar musik
mematok standar bahwa sebuah lagu bagus adalah lagu dengan pilihan kata
bak puisi dengan rima yang cantik Karya
Tulus tidaklah seperti itu. Lirik-lirik lagu
Tulus
adalah sebuah tulisan yang bercerita. Ini tak lepas dari kegemarannya
menulis essay. Tentunya, lirik bagus tak akan ada artinya tanpa dukungan
garapan musik yang apik. Dan musik yang apik itu datang dari
pengiringnya;
Ari Renaldi pada drums dan keyboard;
Rudy Zulkarnaen pada upright bass dan
Sindu Banyusekti pada bass serta
Gega Nesywara pada electric bass;
Topan Abimanyu dan
Anto Arief pada gitar;
Iman Praseno dan
Ivan Jonathan pada piano;
Brury Effendi pada trumpet dan flugethorn. Para musisi memainkan alat musik tersebut di lagu-lagu yang berbeda. Album ini juga didukung oleh
Grace Sahertian,
Marshella Safira dan
Lukman Hakim sebagai
backing vocal.
Menikmati semua lagu di album ini membuat saya mengelompokkan karya
Tulus
sebagai karya musik jazz meskipun dia sendiri tak pernah
memproklamirkan dirinya secara khusus memainkan genre jazz. Dia lebih
senang menyerahkan dan mempersilahkan jenis musik yang dia mainkan pada
pendengarnya.
The Songs
Album ini terdiri dari sepuluh lagu dari limapuluh lagu yang sebenarnya
sudah ditulis dimana ada 3 lagu yang tak jadi dimasukkan. Dibuka dengan
lagu
Merdu Untukmu (intro) yang hanya berdurasi 1 menit 10 detik namun kata-katanya begitu “jleb”.
Ku ingin bernyanyi, melekat di telingamu
Bingkai seisi semesta, semua yang bisa bercerita
Ku ingin bernyanyi, melekat di dalam hatimu
Bingkai beragam nada agar semua merdu untukmu”
Lagu kedua adalah
Teman Pesta. Sebuah lagu rancak yang
dentingan piano nya tak bisa dipungkiri berciri jazz. Lagu ini bertema
cinta bertepuk sebelah tangan. Sebuah harapan akan pengertian seorang
yang disukai.
Berlanjut ke
Kisah Sebentar. Sebuah “gugatan” akan janji cinta
yang pernah diucapkan Kisah cinta itu tak bertahan lama. Lagu ini
seperti lagu sebelumnya, rancak dengan dentingan piano yang berciri
jazz.
Lagu
Sewindu di track keempat adalah sebuah cerita tentang
seseorang yang ditinggalkan pasangan yang dicintainya setelah satu windu
kebersamaan mereka hanya karena kehadiran orang lain yang memiliki
kelebihan. Irama
jazzy pun mengiringi lagu ini.
Di track kelima, ada lagu
Diorama yang direkam secara
live
di studio. Sebuah cerita kebersamaan tanpa ada interaksi, tentang tak
terucapnya sebuah perasaan bak diorama, sebuah “akuarium” yang berisi
patung-patung. Ini adalah lagu yang paling saya sukai di album ini.
Lagu selanjutnya adalah
Tuan Nona Kesepian. Lagu ini bercerita
tentang orang yang mati gaya, tak mampu mengungkapkan perasaannya. Lagu
ini bernuansa swing dengan kualitas vocal
Tulus yang
skillful.
Di track ketujuh adalah lagu
Jatuh Cinta. Sudah banyak lagu yang
bertema jatuh cinta dengan kata-kata klasik yang membungkusnya sebagai
“jatuh cinta berjuta rasanya” atau istilah Gombloh “kalau cinta sudah
melekat tai kucing rasa coklat”. Di sini,
Tulus menuliskan liriknya berupa segala pujian kepada sang wanita sebagai orang yang sempurna.
Track kedelapan,
Teman Hidup, merupakan karya kedelapan
(terakhir) di album ini. Lagu ini ditulis dengan rangkaian kata
sederhana (bukan rayuan gombal) dan pilihan kata yang menunjukkan
romantisme tingkat tinggi serta sebuah optimisme untuk melangkah
bersama. Musiknya ringan dan terasa jazzy.
Track kesembilan adalah
Sewindu versi Rhodes dan track kesepuluh
Merdu Untukmu (outro) menjadi penutup album ini.
Adanya
Merdu Untukmu (intro) dan (outro) seperti menggambarkan
kita memasuki sebuah ruang dengan pintu masuk dan pintu keluar. Di
dalam ruang itu, kita berjalan menyaksikan kisah cinta sepasang manusia
dan menemukan sebuah diorama yang bercerita bagaimana
Tulus bisa mengungkapkan kisah itu layaknya sebuah essay.
Outro
Mendengarkan seluruh rangkaian lagu di album ini rasanya orang tak akan
menampik bahwa album ini adalah sebuah album jazz meskipun
Tulus
sendiri tak ingin mengelompokkan dirinya pada genre itu. Dia lebih suka
menyerahkan kesimpulan karyanya pada pendengarnya. Sebuah kisah yang
mudah ditebak akhir ceritanya sebagaimana sinetron-sinetron Indonesia
dan lagu-lagu yang dinyanyikan para group alay jelas bukanlah tandingan
karya
Tulus yang berupa essay yang menyerahkan akhir sebuah cerita kepada pembaca. Inilah salah satu ciri karya sastra yang baik..
Tulus
melakukannya. Dia menyerahkan pada pendengarnya jenis musik yang
dimainkan hendak dikelompokkan kemana dan interpretasi atas
masing-masing lirik lagunya. Saya secara pribadi lebih suka memasukkan
karya ini sebagai karya jazz ke dalam katalog koleksi saya.
Secara karya, saya tak memiliki keluhan. Saya hanya ingin karya yang
bagus ini perlu didukung oleh distribusi yang tidak melempem supaya
lebih banyak orang bisa memiliki karya bagus ini. Dan, dari limapuluh
lagu yang sudah dibuat, pasti bisa dibuat album berikutnya, kan?